tidak lulus karena ijasah s2 dan setumpuk piagam
Panitia seleksi pemilihan pemian terbaik dari
berbagai Negara memberikan pengumuman kepada seluruh peserta yang beristirahat,
“Selamat buat Anda yang sudah lolos sampai sekarang, berikut ini akan
dipilih 15 peserta untuk menjadi team di club kami. Baiklah, sekarang semua
peserta berdiri bawa tas kalian, bagi 15 peserta tercepat, dialah yang
terpilih, lariii goo ….. goooooo ….”
Peserta
dari Indonesia berada diurutan no 16. “Kenapa engkau jadi lambat larinya?,
dari data seluruh peserta saya pernah mengamati rata-rata kecepatan
berlarimu ada di urutan nomor 2”, kata pelatih dari Indonesia. “Ma’af Pak,
tadi tas saya berat”, “Lo, yang lain juga membawa tas!” pelatih sedikit emosi, “Tas
saya selain pakaian juga berisi Ijaza TK sampai S2, sertifikat, dan banyak piagam
penghargaan jadi BERAT Pak”, sambil menundukkan kepala. “Saya fikir
Ijazah dan piagam itu akan ditanyakan seperti seleksi di Indonesia”,
pucat di air wajah atlit tersebut. “Sudahlah, begitulah Negara kita”
saut pelatih dengan wajah menyesal.
Ah
…. Begitulah Negara kita, keahlian masih kalah dengan ijazah, sertifikat, atau
piagam. Lihatlah guru-guru kita yang DIBURU untuk menuntut S1 demi sebuah
jabatan GURU PROFESIONAL, inilah jalan satu-satunya yang harus ditempuh. Harga
multak dan patent. Pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada guru-guru yang
mungkin belum S1 tapi memiliki prestasi baik dalam pembelajaran, etos kerjanya
menakjubkan, atau mereka sering memberikan bimbingan, seminar, atau sejenisnya
kepada rekan sejawat.
Tolak
ukur pemerintah adalah S1, di lain sisi tidak melihat bagaimana tingkat
kualitas perguruan tinggi yang akan mencetak S1 keguruan tersebut.
Ujung-ujungnya title S,Pd atau S.Pd.SD hanyalah tambahan kehormatan saja tanpa
diimbangi peningkatan mutu guru itu sendiri.
Bagi
sebagian besar guru-guru yang mungkin sudah “malas” untuk kuliah menempuh
S1 hanya akan “dilakoni” dengan berat hati, oga-ogahan, dan kesempatan
meninggalkan jam mengajar. Proses belajar yang tidak nikmat ini hanya mencapai
klimaks saat menerima ijasah S1 saja. Setelahnya, proses belajar itu berhenti.
Berbeda
jika proses belajar itu terjadi di lembaga mereka yang tersistem dari Kabid,
Pengawas, dan Kepala Sekolah yang memiliki misi mendidik guru-guru mereka.
Mereka akan belajar sepanjang hayat meski tidak harus dipaksa kuliah S1.
Rekrutmen
CPNS Guru harus lebih professional. Tidak hanya lewat hasil tes tulis saja dan
lamanya pengabdian, namun pemerintah butuh juga tes kecerdasan emosi-sosial.
Kecerdasan professional semacam tes mengajar langsung dan membuat inovasi
pembelajaran. Peserta lolos tes tulis dilanjutkan tes semacam PLPG sertifikasi.
Disitulah akan terpilih guru-guru yang benar-benar matang dalam mental
(mendidik) dan ahli dalam mengajar.
Hal
yang efektif bagi kami adalah bagaimana mengatur system sehingga dimuculkan
kepala sekolah, Pengawas, kabid, dan jajaran yang berkualitas. Mereka yang
mampu membimbing, membina, dan menjadi teladan yang baik. Karena sebenarnya
merekalah ujung tombak pendidikan ini. Guru-guru kita akan “asal” jika dipimpin
oleh kepaka sekolah yang bekualitas “asal”.
Masih
WAJIBkah kuliah S1 bagi guru yang belum kuliah S1 dan sudah memiliki kemampuan
melampaui yang sudah lulus S1 atau bahkan S2? Kami
kuatir mereka tidak mampu mencapai finish gara-gara terlalu berat dengan
segepok ijazah, sertifikat, dan piagam.
^^^^ (postihttps://ayomendidik.wordpress.com/2014/03/01/tidak-lulus-karena-ijasa-s2-dan-setumpuk-piagamng
ini hasil diskusi dengan Bp. Suryadi, M.Pd *kepala sekolah smpn1 candipuro)