Senin, 17 Maret 2014

CERITA PENDIDIKAN



tidak lulus karena ijasah s2 dan setumpuk piagam


Panitia seleksi  pemilihan pemian terbaik dari berbagai Negara memberikan pengumuman kepada seluruh peserta yang beristirahat, “Selamat buat Anda yang sudah lolos sampai sekarang, berikut ini akan dipilih 15 peserta untuk menjadi team di club kami. Baiklah, sekarang semua peserta berdiri bawa tas kalian, bagi 15 peserta tercepat, dialah yang terpilih, lariii goo …..  goooooo ….”

Peserta dari Indonesia berada diurutan no 16. “Kenapa engkau jadi lambat larinya?, dari data seluruh peserta saya pernah mengamati  rata-rata kecepatan berlarimu ada di urutan nomor 2”, kata pelatih dari Indonesia. “Ma’af Pak, tadi tas saya berat”, “Lo, yang lain juga membawa tas!” pelatih sedikit emosi, “Tas saya selain pakaian juga berisi Ijaza TK sampai S2, sertifikat, dan banyak piagam penghargaan jadi BERAT Pak”, sambil menundukkan kepala. “Saya fikir Ijazah dan piagam itu akan ditanyakan seperti seleksi di Indonesia”, pucat di air wajah atlit tersebut. “Sudahlah, begitulah Negara kita” saut pelatih dengan wajah menyesal.
Ah …. Begitulah Negara kita, keahlian masih kalah dengan ijazah, sertifikat, atau piagam. Lihatlah guru-guru kita yang DIBURU untuk menuntut S1 demi sebuah jabatan GURU PROFESIONAL, inilah jalan satu-satunya yang harus ditempuh. Harga multak dan patent. Pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada guru-guru yang mungkin belum S1 tapi memiliki prestasi baik dalam pembelajaran, etos kerjanya menakjubkan, atau mereka sering memberikan bimbingan, seminar, atau sejenisnya kepada rekan sejawat.
Tolak ukur pemerintah adalah S1, di lain sisi tidak melihat bagaimana tingkat kualitas perguruan tinggi yang akan mencetak S1 keguruan tersebut. Ujung-ujungnya title S,Pd atau S.Pd.SD hanyalah tambahan kehormatan saja tanpa diimbangi peningkatan mutu guru itu sendiri.
Bagi sebagian besar guru-guru yang mungkin sudah “malas” untuk  kuliah menempuh S1 hanya akan “dilakoni” dengan berat hati, oga-ogahan, dan kesempatan meninggalkan jam mengajar. Proses belajar yang tidak nikmat ini hanya mencapai klimaks saat menerima ijasah S1 saja. Setelahnya, proses belajar itu berhenti.
Berbeda jika proses belajar itu terjadi di lembaga mereka yang tersistem dari Kabid, Pengawas, dan Kepala Sekolah yang memiliki misi mendidik guru-guru mereka. Mereka akan belajar sepanjang hayat meski tidak harus dipaksa kuliah S1.
Rekrutmen CPNS Guru harus lebih professional. Tidak hanya lewat hasil tes tulis saja dan lamanya pengabdian, namun pemerintah butuh juga tes kecerdasan emosi-sosial. Kecerdasan professional semacam tes mengajar langsung dan membuat inovasi pembelajaran. Peserta lolos tes tulis dilanjutkan tes semacam PLPG sertifikasi. Disitulah akan terpilih guru-guru yang benar-benar matang dalam mental (mendidik) dan ahli dalam mengajar.
Hal yang efektif bagi kami adalah bagaimana mengatur system sehingga dimuculkan kepala sekolah, Pengawas, kabid, dan jajaran yang berkualitas. Mereka yang mampu membimbing, membina, dan menjadi teladan yang baik. Karena sebenarnya merekalah ujung tombak pendidikan ini. Guru-guru kita akan “asal” jika dipimpin oleh kepaka sekolah yang bekualitas “asal”.
Masih WAJIBkah kuliah S1 bagi guru yang belum kuliah S1 dan sudah memiliki kemampuan melampaui yang sudah lulus S1 atau bahkan S2? Kami kuatir mereka tidak mampu mencapai finish gara-gara terlalu berat dengan segepok ijazah, sertifikat, dan piagam.
^^^^ (postihttps://ayomendidik.wordpress.com/2014/03/01/tidak-lulus-karena-ijasa-s2-dan-setumpuk-piagamng ini hasil diskusi dengan Bp. Suryadi, M.Pd *kepala sekolah smpn1 candipuro)

Sabtu, 01 Maret 2014

BERKUNJUNGNYA KITA KE KOTA TETANGGA